Translate

Saturday, May 6, 2017

Religion and Science

"People who believe in God or the supernatural don’t quite understand the physical world, claims a new study from researchers at the University of Helsinki.
The Finnish scientists also concluded that not only did they not understand nature and the biological world clearly, religious people tended to anthropomorphize, ascribing human qualities like feelings to inanimate objects such as rocks, wind and the like. They would agree with statements like "stones sense the cold"."
Paul Ratner. Big Think.
Is it true?
I do believe that one day people can understand our physical word without losing their faith of God.
I told many people that there are no contradictions between Religion and Science. But now, i can't figure out wheter I have said true or false.

2 Sisi yang Berlawanan

Matematika dan bahasa Inggris ibarat dua sisi dalam satu koin yang sama.
Untuk bisa ditukarkan dengan pembiayaan lembaga sebesar J*L* Colorado atau D*RP* Cornell, keduanya harus utuh.
Pentingnya penguasaan keduanya (bahasa Inggris dan Matematika) terlihat dan dinilai dari kualitas paper (tanpa mengabaikan kekuatan ide, sistematika penyajian dan kebaruan gagasan) yang sebelumnya telah terbit di penerbit terindeks.
Dari sisi bahasa Inggris, seseorang paling tidak punya skor TOEFL ITP 567, TOEFL IBT 72 dan dari sisi Matematika minimal paham beberapa kajian seperti Vektor Killing, Aljabar Lie, Tensor Weyl, Ricci, Riemann, Struktur Cartan, formalisme Israel dll.
Yah, di era ini, punya koin yang bersisi satu tidak akan terlalu baik bagi fisikawan muda. Toh bekerja dalam dunia riset bukan cuma soal isi kepala.
Tanpa ada yang ditukarkan, beberapa hal tidak bisa didapatkan. Mungkin begitulah dunia bekerja. Seseorang tidak bisa mendapat apa-apa tanpa menukarkan apa-apa.

Golongan yang Berlawanan

Saya senang mengklasifikasi pilihan aliran speaking orang-orang dalam dua golongan. Pertama golongan 'filosofis'. Kedua golongan 'seni'.
Golongan 'filosofis' berbicara dengan bahasa standar, meminimalkan penggunaan gerund, to infinitive, reducing, omitting. Mereka mengandalkan penguasaan tenses. Kredo mereka: bahasa Inggris hanya sebagai alat berkomunikasi. Yang penting lawan bicara paham. Titik.
Glongan 'seni' sangat senang menggunakan kombinasi bahasa--seperti tersebut di atas--dan idiom. Kredo mereka: bahasa Inggris adalah seni berbicara , bukan hanya alat komunikasi yang hitam-putih dan minim warna. Kombinasi komponen kebahasaan adalah hal penting.
Saya lebih senang ngobrol dengan orang dari golongan kedua. Saya selalu mengawali percakapan dengan lawan bicara menggunakan beberapa kata dasar: take up dan figure out. Jika mereka menanggapi, maka seterusnya saya akan gunakan beberapa idiom. Jika tidak, saya akan memilih berbicara seperlunya.
Memang bahasa Inggris bagi saya adalah bahasa kedua. Penggunaan kombinasi yang saya gunakan dalam tulisan pun saya gunakan dalam berbicara.

Pergeseran Makna

Dalam komunitas kami, ada beberapa tingkatan nama panggilan: 'nabi', monster', 'pelahap' dan 'siluman'.
Jika Anda mengkaji Geometrisasi Thurston, Aljabar Lie, Kurva Ekliptik, Penskalaan Ulang Weyl, Teori Gauss-Bonnet, Cosmological Apparent Horizon serta paham aturan tata-bahasa Inggris, teman yang lain akan memanggil Anda 'siluman'. Jika Anda selingi dengan kajian sosio-politik dan kebudayaan, teman yang lain akan memanggil Anda 'pelahap'. Dan jika Anda juga pembaca karya Hemingway, Kuntowijoyo, Scott Turrow, Richard Narrow, L Garcia Marquez, Eka Kurniawan, Haruki Murakami, teman yang lain akan memanggil Anda 'monster'. Dan jika berhasil menelusuri terbalik pembuktian Parelman, Anda akan dipanggil 'nabi'.
Tentu saja, itu hanya permainan bahasa. Tak punya makna khusus.
Saya sendiri, di level 'siluman' pun tak sampai. Pengetahuan tatabahasa saya, terakhir kali di level tertinggi hanya menyentuh 605 (structure TOEFL ITP) sedangkan anggota lain rata-rata sudah 653 (Structure, Listening dan Reading). Pun pemahaman saya terkait topik matematika lanjut sangatlah terbatas dan yang berhubungan dengan fisika saja.

Fiksi Garam Part 4

"Saya cukup beriman pada Tuhan pencipta manusia-manusia yang menemukan struktur matematika saja." kata kakek tatkala saya tanya perihal keimanannya.
"Siapa namaNya?"
"Tidak ada namaNya. Tapi mungkin mirip dengan TuhanNya Phytagoras "
"Agama kakek apa?"
"Sebut saja Topologiyah."
"Inti ajarannya apa?"
"Lebih baik kau baca dulu kosmogoni masyarakat Takalar di lontarak Lino Siagang Bonena (Risalah Alam Semesta dan Isinya) yang ditulis Datok Aru Malekka Karaeng Panynyungke Pangngisengang Mabajik (Datok Aru Malekka Si Raja Yang Mengungkap Tabir Pengetahuan). Setelah ia pulang dari Andalusia, ia menulis risalah yang kelak diwariskan secara temurun kepada keturunannya. Tapi intinya sederhana, bahwa alam semesta diciptakan oleh Tuhan tak bernama dari tiga bahan dasar: informasi atau erok Alla Taala, bentuk (ruang) atau kasimemangnganna dan materi (energi) atau bahang apparek."

Fiksi Garam Part 3

Saat ditanya buku apa yang cocok dibaca mahasiswi kedokteran ini, saya jawab saja: The God of Small Things karya Arundhati Roy dan Kafka On The Shore karya Haruki Murakami.
Dia bertanya lagi, kenapa harus buku-buku itu?
Saya jawab lagi: buku The God of Small Things berisi hal-hal kecil, benda-benda yang terlalu sepele tapi kuat membentangkan suasana 'ketercekaman' pada kepala. Kalau Kafka On The Shore sedikit berbeda. Ia menyajikan ketidakmungkinan dengan paparan yang seolah-olah nyata. Ini akan membantumu menyembul lalu kembali menyelam dalam dunia yang berbeda.
"Owh yah. Bisakah kita bertemu di perpustakaan ini lagi setelah aku membacanya?"
"Boleh."
***
Dua bulan kemudian ia datang dengan muka yang bersinar menatap saya. Suara serak-serak beceknya memulai percakapan kami.
"Kok seorang fisikawan sepertinu punya selera bacaan sastra yang harum?"
"Saya tidak pernah menyangka ada orang yang memuji berlebihan sepertimu. Biasanya orang bilang selera bacaan saya menyengat. Lha kok ada dokter yang membaca apa yang saya baca?"
Ia tersenyum lalu berujar santai, "Memangnya kau kira kami robot yang seluruhnya tak senang dengan sastra dan hanya senang menghapal buku-buku teks kedokteran?"

Fiksi Garam Part 2

"...Anda berwajah oriental."
"Yang oriental itu moyang saya. Bukan saya."
"Kalau Anda dari Asia, kami menyebutnya oriental. Tidak peduli Anda dari Ti*ngk*k atau bukan."
"Apa landasan Anda?"
"Saya tanya balik dulu. Apa kamus yang Anda gunakan memberi definisi kata sifat oriental? Oxford atau Logman?"
"Longman."
"Anda American style?"
"Yah."
"Seingat saya kata oriental menyifati orang-orang dari daratan Asia."
"Jika demikian, sangat aneh kedengarannya. Toh kami yang di Asia Tenggara menggunakan oriental untuk menunjuk orang Ch*na saja. Lebih tepatnya orang dengan ciri fisik berupa mata yang sipit dan kulit yang putih."
"Biar pun aneh, bahasa adalah bahasa. Ia merupakan kesepakatan. Kalau Anda bicara dengan orang Mamarika seperti saya, tentu kami akan menyebut Anda bermuka oriental."

Karya Terbaik

"Problem utamamu, saya kira adalah, kau gagal mencoba meniru dirimu sendiri. Itu hal terburuk yang bisa terjadi pada seorang penulis, dan ini banyak terjadi pada penulis lain di sini, di Makassar." katanya di suatu acara. Tentu saja, saya tidak terima. Pertama karena saya tidak senang meniru diri sendiri. Kedua karena saya sedang dalam proses 'meniru' beberapa penulis kesukaan saya: Tanizaki, Murakami, Dostoyevski, Hansum, G. Marquez, Scott Turrow, Eka Kurniawan, Kuntowijoyo. Ketiga karena saya merasa diri saya yang menulis dulu dengan teknik seadanya sedikit berbeda dengan sekarang. Keempat karena peralihan jalur umum ke realisme magis dan surreal (untuk memberi ruang gerak lebih luas bagi konsep tertentu pada matematika dan fisika) adalah hal alamiah yang didukung bacaan saya yang mulai bersentuhan dengan kanon-kanon kesusateraan dunia. Kelima karena bekerja paruh waktu sebagai penerjemah, saya terpengaruh dengan pemilihan kosakata, pelangsingan kalimat dan beberapa struktur-struktur 'baru'--yang tidak saya temui banyak di karya fiksi lokal--seperti apositive dan reducing.
Ia menyebut cerpen saya: Goa, Ajal dan Cerita sebagai cerpen terbaik yang pernah ia baca (kebetulan saja ia belum membaca karya fiksi dari penulis lain). Dan cerpen-cerpen terbaru saya di kumpulan cerpen Laki-laki yang Membenci Suara Gagak-gagak sangat jauh dari harapannya. Apa mau dikata, saya gagal di matanya.

Fiksi Garam

Saya kirimkan draft awal kumcer ke seorang kawan yang juga editor di salah satu penerbit. Saya kirim sekadar memastikan kalau karya saya memang tidak cocok untuk banyak orang.
Dua bulan kemudian ia memberikan beberapa komentar pendek, "tulisan lho bangke."
"Maksudnya?"
"Haram bagi beberapa orang. Teknik menulismu bagus. Hanya saja jadi aneh karena kau masukkan unsur mantra dan klenik, sosio-politik, humor suram dan beberapa masalah panas terkait kebebasan manusia dan ketaksanggupan Tuhan. Mana ada banyak orang untuk segmen pembaca yang cocok dengan itu."
"Setidaknya kumcer itu cocok dengan saya sendiri."
"Kalau pembaca sepertiku dan sepertimu tidak masalah. Tapi yang lainnya? Kenapa kau tidak meniru gaya bertutur dan ide-ide seperti yang biasa diangkat K, HR, GTS, SGA, DL dan BA saja? Kenapa kau malah tiru-tiru D, HM, EK, SR, AN dan TT?"
Saya balas komentarnya, "karena saya menulis tidak mau seperti orang yang kau sebut pertama. Saya mau menulis seperti yang kau sebut belakangan. Lagipula saya hanya memastikan kalau dugaan saya benar."

Bohumil Hrabal dan Arundhati Roy?


Saya selalu saja kagum tatkala mendapati wanita yang tahu dua penulis di atas. Dan bisa saya pastikan, selera bacaan sastranya 'harum'. Kemungkinan besar sikap dan alur berpikirnya juga tercap 'gila, aneh, sinting'. Satu lagi, ia bisa jadi sama brutalnya dengan saya soal baca, nulis, nelaah, komentar dan ikut berkhayal tentang isi buku-buku yang dihindari orang-orang.
***
Suatu waktu, saya dapati wanita yang membaca agak keras potongan tulisan Eka Kurniawan yang kira-kira bunyinya begini, "Jika kita ingin memperlakukan sesama manusia dengan cara adil, saya rasa kita bisa memulainya dengan memperlakukan kata-kata dengan cara adil. Sebab sejarah telah mencatat, hari ini Anda membunuh sebuah kata, hari lain sangat mungkin Anda membunuh manusia yang mempergunakannya. Hari ini Anda membunuh sebuah pemikiran, hari lain Anda membunuh orang-orang yang memikirkannya." Sontak saja, di perpustakaan kreatif dekat PerDos, saya langsung mengajaknya kenalan tanpa banyak pikir.
"Kamu pasti tahu Bohumil Hrabal dan Arundhati Roy. Paling tidak pernah baca esai, ulasan tentang karya-karyanya. Juga Franz Kafka dan Fyodor Dostoyevski. Saya mencuri dengar apa yang kau baca tadi. Emmm dan saya duga kau sering nongkrong di website Eka Kurniawan kan? Saya Syahrul. Salam kenal."
Ia tersenyum lalu mengajak saya duduk di sofa dekat tangga. Lalu kami bicara banyak sampai waktu saya harapkan memelar dalam detakan dunia siluman.

Pertemuan yang ditakdirkan

Belajar struktur bahasa Inggris, Cosmological Inhomogenitas in Alternative Gravity, Koordinat Pseudo-Painlave-Gulstrand dan Geometrisasi Thurston secara dalam--dan kelewatan--selama tiga bulan penuh bisa jadi semacam bunuh diri sosial.
Saya ke perpustakaan kreatif tadi. Tetiba ada pustakawati mendekat dan menyodorkan tangan sebagai tanda perkenalan awal.
"V..., baru berjunjung ke sini?"
Saya menatapnya lama. Beberapa detik kemudian saya menjabat tangannya lalu menjawab santai, "saya ke sini sejak tahun lalu."
Sial, belakangan saya sadari kalau saya lupa menyebut nama sendiri dan berbasa-basi. Mungkin kami bisa ngobrol tentang novel Eka Kurniawan atau Boy Chandra atau Tere Liye atau buku puisi Aan Mansyur. Mungkin kami bisa duduk di sofa sembari bercerita tentang beberapa hal lain. Saya terlalu dingin menanggapi niat baik orang.
Sekitar sejam membaca, ada pengunjung lain yang bertanya, "Ini sandalta." sambil menunjuk sendal di depan pintu.
"Bukan."
Sialnya lagi, saya tak menjawab dengan dua kata atau lebih. Padahal saya bisa bawa bercanda. Misal dengan mengatakan, "pakai saja, toh tidak ada yang mengaku punya, asal jangan pakai menginjak tai sapi."

Keberhasilan Usaha dari Kegigihan Seseorang

Ada beberapa orang nyinyir dan bilang kalau yang punya skor TOEFL ITP 553 dan TOEFL IBT 73 belum tentu pintar. Ya mungkin saja memang dia/mereka tidak pintar. Tapi skor segitu bisa jadi menunjukkan kegigihan, konsentrasi dan pemahaman atas pola. Jika tidak punya konsentrasi, Reading dan Listening akan menjungkalkan dan menggagalkan. Kalau tidak paham pola dan tidak gigih belajar aturan tatabahasa, ya disingkirkan Structure, Writing. Adalah hal omong kosong dan sialan jika ada beberapa orang mengaku sanggup menyelesaikan studi di CU, UoC, PU, BU tanpa punya skill memadai terkait bahasa-budaya, tahu pola, gigih dan punya konsentrasi yang ditunjukkan salah satunya lewat sertifikat penguasaan bahasa (TOEFL, IELTS, TOEIC).
Memang manusia sangatlah rumit untuk dipetakan lewat satu atau dua test atau lebih. Tapi standar tetaplah harus ada dan mesti dipatok. Makanya selain seleksi berkas ada sesi wawancara. Jika berkas menyertakan batas penilaian terhitung (TOEFL/TOEIC/IELTS, IPK), maka wawancara menilai kualitas yang tak terhitung. Kalau sekelas Bodevan, Zaja, Viespyr, Kieylr, Rellian, Nail, ya TOEFL/TOEIC/IELTS tidak penting. Tapi berapa banyak orang seperti mereka di dunia?

Kunci Percaya Diri

"...Bahwa sebagian orang di birokrasi sering meracuni bakat-bakat terbesar kita. Tak hanya tak menyediakan tanah gembur untuk bibit-bibit pohon agar dapat tumbuh alami dan wajar, tapi bahkan jika ada pohon yang bakal menjulang indah di tegel dan beton, tanpa rasa bersalah, mereka menebangnya." seru saya di atas taksi. Waktu itu kami dari bandara Schipol menuju Vrije Universiteit Amsterdam.
"Mungkin begitulah dek. Kalau kau tahu sedihnya ditolak satu-satunya Universitas yang ingin kau bangun, kalimatmu tak akan sepuitis itu." jawabnya singkat.
"Kak, kalau kakak mau menghadapinya dengan ringan, kakak bisa menertawakan mereka. Menertawakan kebodohan-kebodohan ini. Maka hasilnya kakak berhadapan dengan situasi penuh humor, komedi tolol yang tak hanya menertawakan kebodohan mereka, tapi juga mungkin menertawakan apa yang dianggap sebuah kecerdasan oleh para orang-orang sialan itu. Bagaimana ceritanya, mereka lebih memilih orang yang tidak linier pendidikannya dibanding kakak yang lulusan Belanda, punya belasan paper di PR D dan Elsevier. Dengan otak sekecil mereka, bagaimana Universitas yang kita cintai mau maju."
"Makanya dek, tidak usah pulang. Saya bisa uruskan kau beasiswa lanjutan di sini. Selama enam bulan persiapanmu saya juga bisa tanggung kebutuhanmu. Bakatmu akan jatuh dengan pasti jika kau kembali."
"Terimakasih kak atas sarannya. Mau tidak mau saya harus kembali. Saya ingin bangun institute sendiri. Institute yang mewadahi bakat-bakat terbaik seperti kakak dan yang lainnya. Institute yang akan membawa kakak kembali ke kampung untuk mendidik anak-anak kampung menembus PR D, IoP, MDPI dll."

Kunci Percaya Diri

"...Bahwa sebagian orang di birokrasi sering meracuni bakat-bakat terbesar kita. Tak hanya tak menyediakan tanah gembur untuk bibit-bibit pohon agar dapat tumbuh alami dan wajar, tapi bahkan jika ada pohon yang bakal menjulang indah di tegel dan beton, tanpa rasa bersalah, mereka menebangnya." seru saya di atas taksi. Waktu itu kami dari bandara Schipol menuju Vrije Universiteit Amsterdam.
"Mungkin begitulah dek. Kalau kau tahu sedihnya ditolak satu-satunya Universitas yang ingin kau bangun, kalimatmu tak akan sepuitis itu." jawabnya singkat.
"Kak, kalau kakak mau menghadapinya dengan ringan, kakak bisa menertawakan mereka. Menertawakan kebodohan-kebodohan ini. Maka hasilnya kakak berhadapan dengan situasi penuh humor, komedi tolol yang tak hanya menertawakan kebodohan mereka, tapi juga mungkin menertawakan apa yang dianggap sebuah kecerdasan oleh para orang-orang sialan itu. Bagaimana ceritanya, mereka lebih memilih orang yang tidak linier pendidikannya dibanding kakak yang lulusan Belanda, punya belasan paper di PR D dan Elsevier. Dengan otak sekecil mereka, bagaimana Universitas yang kita cintai mau maju."
"Makanya dek, tidak usah pulang. Saya bisa uruskan kau beasiswa lanjutan di sini. Selama enam bulan persiapanmu saya juga bisa tanggung kebutuhanmu. Bakatmu akan jatuh dengan pasti jika kau kembali."
"Terimakasih kak atas sarannya. Mau tidak mau saya harus kembali. Saya ingin bangun institute sendiri. Institute yang mewadahi bakat-bakat terbaik seperti kakak dan yang lainnya. Institute yang akan membawa kakak kembali ke kampung untuk mendidik anak-anak kampung menembus PR D, IoP, MDPI dll."

Kunci Percaya Diri

"...Bahwa sebagian orang di birokrasi sering meracuni bakat-bakat terbesar kita. Tak hanya tak menyediakan tanah gembur untuk bibit-bibit pohon agar dapat tumbuh alami dan wajar, tapi bahkan jika ada pohon yang bakal menjulang indah di tegel dan beton, tanpa rasa bersalah, mereka menebangnya." seru saya di atas taksi. Waktu itu kami dari bandara Schipol menuju Vrije Universiteit Amsterdam.
"Mungkin begitulah dek. Kalau kau tahu sedihnya ditolak satu-satunya Universitas yang ingin kau bangun, kalimatmu tak akan sepuitis itu." jawabnya singkat.
"Kak, kalau kakak mau menghadapinya dengan ringan, kakak bisa menertawakan mereka. Menertawakan kebodohan-kebodohan ini. Maka hasilnya kakak berhadapan dengan situasi penuh humor, komedi tolol yang tak hanya menertawakan kebodohan mereka, tapi juga mungkin menertawakan apa yang dianggap sebuah kecerdasan oleh para orang-orang sialan itu. Bagaimana ceritanya, mereka lebih memilih orang yang tidak linier pendidikannya dibanding kakak yang lulusan Belanda, punya belasan paper di PR D dan Elsevier. Dengan otak sekecil mereka, bagaimana Universitas yang kita cintai mau maju."
"Makanya dek, tidak usah pulang. Saya bisa uruskan kau beasiswa lanjutan di sini. Selama enam bulan persiapanmu saya juga bisa tanggung kebutuhanmu. Bakatmu akan jatuh dengan pasti jika kau kembali."
"Terimakasih kak atas sarannya. Mau tidak mau saya harus kembali. Saya ingin bangun institute sendiri. Institute yang mewadahi bakat-bakat terbaik seperti kakak dan yang lainnya. Institute yang akan membawa kakak kembali ke kampung untuk mendidik anak-anak kampung menembus PR D, IoP, MDPI dll."